Di Balik Pilihan Hidup yang Kita Anggap Aneh: Ada Kisah yang Tak Pernah Kita Dengar

Tulisan inspiratif tentang belajar tidak menghakimi pilihan hidup orang lain. Karena setiap keputusan punya alasan yang tak selalu tampak di mata. Dan memang kita, tidak punya hak untuk menjadi hakim atas hidup orang lain.

KISAH INSPIRATIF

10/11/20253 min baca

Pernahkah Kamu Begini ?

Berada di tengah obrolan santai yang tiba-tiba berubah jadi sesi menilai hidup orang lain? Misalnya tentang seorang perempuan muda yang menikah dengan laki-laki jauh lebih tua — lalu muncul komentar, “pasti karena lakinya kaya.” Atau sebaliknya, laki-laki muda yang menikah dengan perempuan yang usianya jauh di atasnya — dan orang pun berasumsi, “mungkin karena perempuannya mapan, si laki mau numpang hidup. Lalu kita asal njeplak, “ Ih, cowok matrek!”  — 

Padahal, siapa yang tahu alasan sebenarnya? Seolah-olah kita bisa membaca seluruh isi hati dan kisah hidup mereka. 

Saya pernah. Pernah terjebak dalam pembicaraan semacam itu — ikut tersenyum, mengangguk, bahkan mungkin menimpali dengan nada setuju. Hingga suatu hari, saya tersadar betapa mudahnya saya menilai orang lain hanya dari tampilan luar. Ya, saya tidak pernah benar-benar tau cerita orisinilnya. 

Kesadaran itu datang saat saya menatap kehidupan saya sendiri.

Suami saya seorang difabel karena polio sejak kecil. Ia bukan laki-laki yang tampak “sempurna” secara fisik, bukan pula laki-laki kaya raya. Keluarganya pun bukanlah keluarga konglomerat  atau berdarah ningrat. Tapi ia punya hati yang kuat, tekad yang luar biasa, dan kemampuan untuk menghidupi keluarga dengan penuh tanggung jawab.

Jika dilihat dari kacamata orang luar, mungkin ada yang juga bertanya-tanya, “kenapa mau menikah dengan dia?” Namun bagi saya, jawabannya sederhana meskipun saya merasa tidak perlu memberi penjelasan pada siappun : karena saya melihat sesuatu yang tidak semua orang bisa lihat. Saya merasakan kebaikan dan kesabaran, melihat keberanian dari dalam dirinya yang terbalut fisik kurang sempurna. Yang mana, orang dengan fisik sempurna pun, belum tentu kuat berjuang dengan kondisi yang jauh lebih “terlihat” sempurna. Jiwa. Ya, saya melihat jiwa ketika fisik terlalu gamblang terlihat mata. . Dan itu semua, tidak butuh penjelasan panjang pada siapapun. 

Belajar Apa ?

Atas apa yang saya pilih dan jalani saat ini, saya belajar satu hal penting — bahwa kita tak pernah benar-benar tahu alasan seseorang memilih jalan hidupnya.

Kita hanya melihat permukaannya, sedangkan di balik keputusan itu mungkin tersimpan kisah yang panjang, luka yang dalam, penyembuhan yang sedang berjalan atau kasih yang begitu tulus. Yang menutup mata atas segala kekurangan dan hanya belajar melihat kelebihan serta menerima dan menerima.

Barangkali perempuan muda yang menikah dengan pria tua itu menemukan sosok ayah yang tak pernah ia punya. Atau laki-laki muda yang menikah dengan perempuan lebih tua justru menemukan ketenangan dan penghargaan yang tak ia dapat di tempat lain.

Dan bisa jadi, keputusan yang tampak ganjil di mata kita justru merupakan wujud keberanian besar — melawan stigma, melawan pandangan dunia, dan memilih kebahagiaan versi sendiri dengan berani menanggung segala resiko atas pilihannya.

Dan andai pun benar tuduhan kita — bahwa pilihan itu karena materi atau hal lain yang dangkal — lalu apa urusannya dengan kita?

Apakah hidup kita menjadi lebih baik dengan menilainya?

Atau mungkin, kita hanya sedang menutupi kekosongan dalam diri sendiri dengan menyoroti hidup orang lain?

Menghakimi itu mudah, karena tidak butuh empati.

Yang sulit adalah menahan diri untuk tidak berkomentar, mencoba memahami tanpa harus tahu segalanya atau merasa harus menerima penjelasan, dan belajar menghargai keputusan orang lain tanpa embel-embel rasa superior.

Saya jadi teringat satu kalimat yang pernah saya baca dalam sebuah buku pemberdayaan diri, “Hidup ini bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi tentang bagaimana kita bisa menjadi lebih berbelas kasih.”

Sejak itu, setiap kali ada pembicaraan yang mengarah ke penilaian sepihak, saya berusaha diam.

Bukan karena saya suci, tapi karena saya tahu betapa tidak enaknya menjadi orang yang dinilai tanpa dia tahu yang sebenarnya. Kadang diam adalah bentuk kebijaksanaan terbaik.

Hidup setiap orang punya jalannya masing-masing. Ada yang memilih menikah muda, ada yang menunda demi karier. Ada yang ingin hidup sederhana, ada yang mengejar kemewahan. Selama tidak menyakiti siapa pun, setiap pilihan itu sah adanya.

Karena kebahagiaan tidak bisa diukur dari pandangan mata, tapi dari kedamaian hati yang menjalaninya.

Jadi, lain kali kalau kita tergoda untuk berkata, “kok mau-maunya sih…”, mungkin lebih baik kita ganti dengan doa kecil dalam hati: “Semoga mereka bahagia dengan jalannya, seperti saya juga berusaha bahagia dengan jalan saya sendiri”.